HEADLINE NEWS

Selasa, 21 Juni 2011

Ruyati Dipancung, Siapa Berani Mundur?

Jakarta: Rakyat menilai, pemerintah terlambat mengantisipasi hukuman pancung yang diterima Ruyati binti Sapubi. Akibatnya, rakyat marah dan kecewa kepada pemerintah. Siapa yang harus tanggung jawab?

Ruyati menjadi korban kesekian kalinya dari penangangan yang lambat dari pemerintah RI terhadap nasib warga negaranya di perantauan. Kini dua Tenaga Kerja Indonesia (TKI), yang merupakan pasangan suami istri asal Pamekasan, Madura, Jawa Timur, juga terancam qishash (hukuman potong tangan). Keduanya mendapat tuduhan melakukan pencurian di Arab Saudi dan diduga sudah memasuki penjara gelap sebagai pertanda akan segera menjalani hukuman.

Vonis hukuman potong tangan kepada kedua TKI pasangan asal Pamekasan tersebut dijatuhkan setelah keduanya menjalani hukuman penjara selama sekitar dua tahun. Waktu dua tahun ini sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk melakukan advokasi dan lobi dari pemerintah RI maupun LSM kepada penguasa Saudi.

Dalam kaitan ini, pengamat politik Umar S Bakry menilai, masuk akal meluasnya desakan mundur terhadap Menakertrans, Menteri Luar Negeri dan Kepala BNP2TKI terkait kasus Ruyati. Desakan itu semakin mencuat sebagai bentuk kekecewaan rakyat

Sejauh ini Ketua Fraksi PDI Perjuangan yang juga anggota Komisi I DPR, Tjahjo Kumolo menegaskan bahwa kepala ketiga instansi tersebut harus mundur. "Kalau di negara lain, apalagi menyangkut nyawa bukan kebijakan, kalau tidak mampu dia harus bertanggung jawab," ujar Tjahjo Kumolo .

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di luar negeri telah berpidato mengenai buruh dan mendapatkan sambutan luar biasa. Tetapi, justru para pembantunya tidak bisa melaksanakan tugas dengan baik.

Tjahjo Kumolo meminta, agar pihak terkait dalam hal ini Menlu Marty Natalegawa, Menakertrans Muhaimin Iskandar dan Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat bisa bertanggungjawab. Sejauh ini, ketiga pejabat itu masih mempelajari duduk perkaranya.

Anggota Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo menilai, aksi Pemerintah RI yang akan memberi tanggapan diplomatis jelas-jelas tidak sepadan dengan penghinaan pemerintah Arab Saudi yang telah menghukum mati WNI Ruyati binti Satubino. Langkah hukum menggugat Arab Saudi harus segera ditempuh Pemerintah RI agar penghinaan serupa tidak berulang di kemudian hari.

Menurutnya, apa pun upaya yang akan dilakukan tidak mungkin menghidupkan kembali almarhumah Ruyati. Tetapi, untuk meringankan beban penderitaan keluarga almarhumah, pemerintah tidak boleh minimalis dalam menyikapi kasus ini.

“Menurut saya, sekadar melancarkan protes keras kepada Arab Saudi mencerminkan kehendak minimalis pemerintah yang belum tentu mampu membantu mengobati luka batin keluarga almarhumah. Sebab, protes keras itu hanya mencakup urusan kenegaraan RI-Arab Saudi, dan sama sekali tidak menyentuh batin keluarga almarhumah,” ujar politisi dari Partai Golkar itu.

Pemerintah RI harus melancarkan gugatan hukum kepada Pemerintah Arab Saudi. Fakta bahwa pihak berwajib Arab Saudi tidak memberitahu pelaksanaan hukuman mati atas WNI Ruyati kepada perwakilan RI setempat mestinya bisa berujung pada pelanggaran hak azasi manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar